Arsitektur masjid-masjid tua di Kota Palembang, Sumatera Selatan, menggambarkan semangat pluralisme yang sangat maju pada zamannya. Unsur budaya Arab, Jawa, China, dan Eropa diserap dan dipadukan dalam arsitektur bangunan dengan komposisi yang harmonis. Harmonisasi bentuk itu disatukan pada kebutuhan untuk menciptakan suasana yang nyaman bagi orang yang beribadah di dalamnya.

Masjid Agung merupakan masjid tua dan sangat penting dalam sejarah Palembang. Masjid yang berusia sekitar 259 tahun itu terletak di Kelurahan 19 Ilir, Kecamatan Ilir Barat I, tepat di pertemuan antara Jalan Merdeka dan Jalan Sudirman, pusat Kota Palembang. Tak jauh dari situ, ada Jembatan Ampera. Masjid dan jembatan itu telah menjadi landmark kota hingga sekarang.

Keberadaan Masjid Agung tidak bisa dilepaskan dari perkembangan Kesultanan Palembang Darussalam pada abad XVI hingga abad XIX. Budayawan Djohan Hanafiah dalam buku Masjid Agung Palembang: Sejarah dan Masa Depannya (1988) menyebutkan, Masjid Agung didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo atau Sultan Mahmud Badaruddin I yang memerintah Kesultanan Palembang Darussalam tahun 1724-1758.

Tidak seperti dalam tradisi Jawa, masjid itu justru dibangun di belakang keraton dan Benteng Kuto Besak yang menghadap ke Sungai Musi.

Tahap pertama pembangunan berlangsung dari tahun 1738 hingga 1748. Mulanya masjid didirikan tanpa menara. Sultan Najamuddin I, putra Sultan Mahmud Badaruddin I, lalu membangun menara di sebelah kanan depan, berbentuk segi enam setinggi sekitar 20 meter.

Masjid itu terus mengalami renovasi yang menambahkan beberapa unsur lain dalam bangunan. Renovasi terakhir dilakukan pada masa Gubernur Sumsel Rosihan Arsyad, dan diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, Juni 2003.

Dalam sejarahnya, masjid yang berada di pusat kerajaan itu menjadi pusat kajian Islam yang melahirkan sejumlah ulama penting pada zamannya. Syekh Abdus Samad al-Palembani, Kemas Fachruddin, dan Syihabuddin bin Abdullah adalah beberapa ulama yang berkecimpung di masjid itu dan memiliki peran penting dalam praksis dan wacana Islam.

Sosok Masjid Agung saat ini cukup mencolok di tengah Kota Palembang yang semakin padat dan semrawut. Masjid berbentuk bujur sangkar dan bangunan utama berundak tiga dengan puncak atau mustaka berbentuk limas. Undakan ketiga yang menjadi puncak memiliki semacam leher yang jenjang yang dihiasi ukiran bermotif bunga. Pada puncak mustaka terdapat mustika berbentuk bunga merekah. Bentuk berundak dipengaruhi bentuk dasar candi Hindu-Jawa, yang kemudian diserap Masjid Agung Demak yang dipercaya didirikan Wali Songo, penyebar Islam di Jawa.

Di atas sisi limas terdapat jurai daun simbar atau semacam hiasan menyerupai tanduk kambing yang melengkung, sebanyak 13 setiap sisinya. Jurai yang berwarna emas itu berbentuk melengkung dan lancip. Tak pelak lagi, bentuk dasar jurai itu menyerupai atap kelenteng.

Jendela masjid dibuat besar-besar dan tinggi, sedangkan tiang masjid dibuat kokoh dan besar. Pilihan ini menimbulkan kesan seperti umumnya arsitektur Eropa. Gaya itu juga banyak ditemui pada bangunan Indies, yang dibuat semasa Indonesia dijajah Belanda sekitar abad XVIII hingga awal abad XX.

Selain Masjid Agung, ada beberapa masjid tua lain di Palembang yang didirikan pada masa Kesultanan Palembang atau setelahnya. Komponen arsitektur utama masjid-masjid itu umumnya menginduk kepada bentuk Masjid Agung, tetapi ukurannya lebih kecil. Beberapa masjid itu juga memiliki sejarah unik dan peran penting dalam pertumbuhan agama Islam di Palembang dan sekitarnya.

Masjid-masjid itu antara lain Masjid Muara Ogan, Masjid Lawang Kidul, Masjid Suro, dan Masjid Sungai Lumpur. Masjid Muara Ogan dibangun di sudut Sungai Ogan dan Sungai Musi, termasuk Kecamatan Kertapati, sekitar tiga kilometer dari pusat Kota Palembang. Saudagar Masagung Abdul Hamid, yang dikenal sebagai Kiai Muara Ogan, mendirikan masjid itu tahun 1889. Nama masjid merujuk pada sebutan Kiai Muara Ogan.

Masjid Lawang Kidul terdapat di Kelurahan 5 Ilir, di tepi Sungai Musi. Masjid ini juga didirikan Kiai Muara Ogan tahun 1881 dengan nama Masjid Mujahidin, tetapi kemudian lebih dikenal sebagai Masjid Lawang Kidul. Masjid Suro terletak di Kelurahan 30 Ilir, Kecamatan Ilir Barat II, sekarang bernama Masjid Mahmudiyah. Masjid ini didirikan Kiagus H Mahmud Khatib dan Kiai Delamat, murid Kiai Muara Ogan, tahun 1906.

Ada lagi Masjid Sungai Lumpur yang didirikan Said Abdullah bin Salim al-Kaff di Kampung 14 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu II. Daerah itu termasuk kawasan komunitas keturunan Arab.

Bentuk bangunan utama Masjid Muara Ogan, Lawang Kidul, Masjid Suro, dan Masjid Sungai Lumpur secara umum menyerupai bentuk Masjid Agung. Masjid-masjid ini juga menyerap budaya China, Jawa, Arab, Eropa, dan Palembang dalam bentuk yang padu.

Arsitektur Masjid Agung dan beberapa masjid lama di Palembang menawarkan bentuk-bentuk yang simbolik. Undak-undakan di pelataran dan di atap masjid, misalnya, melambangkan tarekat atau perjalanan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tingkat pertama merupakan syariah atau tahap penertiban amal perbuatan yang baik, sesuai dengan tuntunan agama. Tingkat kedua mencerminkan hakikat atau proses pencarian atas ruh yang tersimpan di balik perbuatan yang kasatmata. Tahap ketiga menjadi puncak perjalanan karena manusia telah mengalami ma’rifat, mengenal hakikat Tuhan.

Bentuk undak-undakan senantiasa mengajak manusia untuk mengasah diri dengan menertibkan perbuatan, meraih makna, dan mengenal Tuhan. Tahap-tahap itu merupakan perjalanan spiritual yang tiada berakhir.

Beberapa masjid generasi baru di Palembang juga menyerap berbagai budaya yang berbeda-beda, sebagian mengadopsi semangat perkembangan arsitektur yang lebih modern. Itu antara lain diwakili Masjid At-Taqwa di Jalan Kironggo Wirosentiko dan Masjid Baitul Atiq di daerah Talang Semut.

Masjid At-Taqwa, yang berada di depan kolam retensi, dibangun tanpa kubah. Atap bagian atas justru berbentuk mendatar, dan agak melengkung ke atas di sisi tepinya. Nyaris tidak ada ornamen yang rumit di dinding bagian luar. Kubah kecil berbentuk bawang dibuat di atas menara yang berbentuk persegi empat. Sekilas, arsitektur masjid itu menyerupai arsitektur Masjid Salman di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Bentuk dasar kubus dalam bangunan ini mengacu pada prinsip arsitektur modern, form follow function (bentuk mengikuti fungsi). Sebagaimana Masjid Salman ITB, pilihan bentuk kubus dari Masjid At-Taqwa justru mengoptimalkan pembentukan ruang kosong yang lebih luas di dalam masjid.

Masjid Baitul Atiq yang diresmikan awal tahun 2005 kental dengan unsur budaya Eropa dan Persia. Warna Eropa terlihat dari bentuk tiang dan dinding yang kokoh, serta bentuk jendela yang lebar dan tinggi. Bahkan, menara di samping bangunan utama mirip dengan menara beberapa gereja di Eropa. Unsur Persia terasa dari pilihan bentuk kubah yang menyerupai bawang putih yang dipotong setengah dan warna emas yang memenuhi seluruh permukaan kubah.

Tidak saja menampilkan keindahan, arsitektur Masjid Agung dan beberapa masjid di Kota Palembang juga menawarkan pendekatan yang unik terhadap berbagai serapan budaya dalam komposisi yang tetap harmonis. Perpaduan itu menunjukkan kuatnya pemahaman yang menghargai berbagai budaya dari masyarakat yang berbeda, yang ditempatkan sebagai potensi untuk membangun harmoni.